ESAI ILMIAH - ISU LEGAL PRAKTIK KEPERAWATAN KOMPLEMENTER


ESAI ILMIAH
ISU LEGAL PRAKTIK KEPERAWATAN KOMPLEMENTER
   


PUTRI CHANDRA PARAMITA
P07120015081 


DIII KEPERAWATAN 
POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
2015




Pengobatan Komplementer: Minimalkan Malpraktik, Perawat Harus Berkompeten 
Kesehatan merupakan salah satu bagian dari kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia di bumi ini. Masalah kesehatan menjadi problema yang krusial bagi setiap kalangan. Betapa tidak, dalam melakukan aktivitas setiap orang memerlukan kesehatan jasmani maupun rohani. Maka dari itu, produktivitas dan kreativitas tenaga kesehatan perlu ditingkatkan demi menunjang kualitas pelayanan kesehatan.
Dengan seiring bertambahnya sumber daya manusia dan tingginya tingkat kebutuhan ekonomi di era globalisasi sekarang ini, banyak jenis pengobatan maupun terapi yang bermunculan. Masyarakat mulai melirik teknik pengobatan yang dapat menjamin namun tetap terjangkau. Satu dari sekian teknik pengobatan yang kini marak diperbincangkan yaitu pengobatan komplementer.
Terapi komplementer menjadi pilihan yang banyak diminati oleh mereka yang terkendala biaya pada pengobatan kovensional atau medis. Selain faktor ekonomi, beberapa faktor yang mendorong masyarakat untuk lebih memilih pengobatan komplementer adalah faktor sosial, kepercayaan, budaya, psikologis, kejenuhan terhadap pelayanan medis/pengobatan konvensional, manfaat dan keberhasilan, pengetahuan, serta persepsi tentang sakit dan penyakit.
Bagi masyarakat awam, istilah komplementer tidak akan terkesan familier, tetapi pilihan pengobatan alternatif seperti akupuntur, hipnoterapi, cupping (bekam basah), terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas seperti akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, merupakan bagian dari terapi komplementer. Masyarakat yang menjalani pengobatan di berbagai jenjang kesehatan, tidak hanya menjalani proses pengobatan konvensional atau medis, tetapi mereka memadukannya secara mandiri dengan pengobatan-pengobatan alternatif seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jadi, sebenarnya tanpa disadari, kita telah menerapkan pengobatan komplementer dalam kehidupan kita sehari-hari.
Terapi komplementer yang memang telah menjadi isu di banyak negara, masih memerlukan riset yang lebih menyeluruh untuk dipelajari secara lebih dalam. Beberapa penelitian yang mengangkat tema tentang terapi komplementer diantaranya adalah terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, mempercepat penyembuhan luka, dan memberi kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik, terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang bulan dapat meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada anak susah makan, terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin selama haid, penggunaan aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur, minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberculosis, tanaman lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan, meditasi dan imagery membantu mengurangi rasa nyeri pada pasien penderita kanker dan mempercepat proses penyembuhannya, selain itu hipnoterapi dapat meningkatkan suplai oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan.
Dari hasil penelitian-penelitian dapat membuat suatu paradigma baru dalam dunia kesehatan mengenai terapi komplementer. Terapi komplementer yang disebut juga dengan terapi holistik ini akan sangat bermanfaat bagi klien yang memiliki penyakit kronis yang mengharuskan mereka untuk melakukan pengobatan rutin yang mengeluarkan lebih banyak dana. Selain dapat meningkatkan kesehatan secara menyeluruh, klien juga dapat menghemat biaya pengobatan karena dalam terapi komplementer beban untuk membeli obat yang harus dikonsumsi akan berkurang.
Minat masyarakat Indonesia terhadap pengobatan komplementer ini sudah mulai meningkat. Terlihat dengan menjamurnya klinik-klinik pengobatan alternatif dan tradisional baik di daerah-daerah maupun di pusat kota yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh tingginya tingkat kesadaran masyarakat yang lebih melihat hasil dan proses daripada suatu pelayanan kesehatan. Pengobatan komplementer dirasa lebih memberikan hasil yang nyata bagi mereka, dibandingkan dengan metode pengobatan yang bersifat konvensional atau medis. Karena tidak sedikit dari masyarakat kita, yang menjalani pengobatan medis tidak menemukan suatu titik terang, dimana setelah mereka beralih kepada metode pengobatan komplementer, dengan dua atau tiga kali terapi, mereka telah merasakan dampak positif terhadap kesehatannya.
Pada masa sekarang ini, terapi pengobatan komplementer dan pegobatan medis sudah dapat hidup secara berdampingan di masyarakat, seperti pada beberapa rumah sakit di Indonesia yang menyelenggarakan praktik pengobatan komplementer sebagai metode pengobatan yang bersifat sebagai pendamping, pelengkap maupun pengganti dari metode pengobatan medis. Di Indonesia, Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta merupakan salah satu dari 12 rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Departemen Kesehatan untuk melaksanakan dan mengembangkan pengobatan komplementer. Rumah Sakit Kanker Dharmais memiliki cabang unit khusus pengobatan kedokteran komplementer, dimana Unit CAM ini berfungsi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan komplementer bagi penderita penyakit kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik yang berasal dari Rumah Sakit Kanker Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya. Pada saat ini pelayanan yang diberikan pada Unit CAM Rumah Sakit Kanker Dharmais meliputi: 1) Akupuntur Medik (Akupuntur Pengobatan dan Akupuntur Estetika) dan 2) Herbal (Fitofarmaka, Herbal terstandar, jamu). Sedangkan 12 rumah sakit lainnya yang telah melaksanakan dan mengembangkan pengobatan komplementer adalah Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya, Rumah Sakit Kandou Manado, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, RS TNI AL Mintoharjo Jakarta, RSUD Dr. Pringadi Medan, RSUD Saiful Anwar Malang, RS Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Solo, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUP Dr. Suraji Tirtonegoro Klaten.
Berangkat dari kepuasan pasien terhadap pengobatan komplementer yang semakin menyuburkan klinik pengobatan komplementer membuat masyarakat perlahan semakin tergiur dengan teknik pengobatan jenis ini. Isu berbagai jenis kelebihan dan keuntungan pengobatan komplementer menyebar begitu saja. Terlebih bila satu pasien merasa sembuh total begitu menjalani pengobatan komplementer, maka testimoni baik mengenai teknik pengobatan ini akan berdampak pada masyarakat yang lelah menjalani pengobatan konvensional berbondong-bondong menjalani pengobatan komplementer. Namun, yang jadi persoalan, tak semua tenaga medis, dalam hal ini yang dipraktikkan oleh perawat, dapat dijamin profesionalitasnya. Apalagi, pengobatan komplementer terkesan sebagai jenis pengobatan sampingan, tak harus tenaga yang handal untuk mempraktikkannya. Padahal, apapun jenis pengobatannya bila berkaitan baik dengan jasmani maupun rohani pasien, bila ditangani oleh tenaga medis yang kurang kompeten sudah tentu amat membahayakan. 
Dengan demikian, terapi komplementer ini sangat perlu untuk menjadi bahan kajian dalam dunia keperawatan. Karena tidak hanya tenaga kesehatan seperti dokter dan ahli terapi saja yang mempunyai kesempatan dalam mengembangkan profesinya dalam praktik komplementer ini. Jika dilihat dari berkembangnya izin praktik mandiri kepada perawat di masa sekarang ini, maka perawat juga perlu meningkatkan kemampuan diri dalam praktik terapi komplementer. Dimana perawat merupakan profesi di dunia kesehatan yang merawat pasien dengan pendekatan holistik dan memandang manusia secara utuh sebagai makhluk biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual. Sama halnya dengan metode terapi komplementer yang dianggap sebagai terapi dengan pendekatan holistik karena berupaya untuk meningkatkan taraf kesehatan dengan memperhitungkan dari berbagai sudut dan beraneka aspek kehidupan pasien.
Pengawasan pada penyelenggaraan praktik pengobatan komplementer di masyarakat baru berupa pendaftaran kepada pemerintah daerah setempat saja. Bahkan berdasarkan penelusuran oleh dinas kesehatan di berbagai daerah, ternyata masih banyak ditemukan klinik-klink pengobatan sebagai sarana terapi komplementer atau alternatif yang tidak memiliki izin praktik yang jelas. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat banyaknya berita di media cetak maupun online yang memberitakan mengenai merebaknya pengobatan palsu yang berkedok praktik pengobatan komplementer atau alternatif yang dijalankan oleh tenaga yang tidak berkompeten sehingga pada akhirnya dapat berdampak buruk bagi masyarakat.
Seperti dikutip dari antaranews.com tertanggal 23 Maret 2010, terdapat sebanyak 11 praktik tradisional atau alternatif yang mengantongi izin dan ada sekitar 30 lagi yang tidak mengantongi izin dari Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Selain itu, mengutip dari okezone.com tertanggal 11 Maret 2015, banyak pasien kanker payudara lebih percaya terhadap pengobatan alternatif dan kerap melupakan pengobatan medis. Padahal hasil yang diperoleh tidak akan efektif, bahkan sampai meregang nyawa. Maraknya pengobatan alternatif yang menjanjikan kesembuhan tanpa operasi selalu membuat korban stadium lanjut berjatuhan. Pasien selalu datang ke rumah sakit dengan stadium III dan IV.
Berkaca dari maraknya malpraktik pengobatan komplementer, disebabkan salah satunya oleh tiadanya peraturan tegas dari pemerintah. Terutama minimnya pengawasan praktik, ditambah belum adanya undang-undang yang secara gamblang menjelaskan mengenai pengobatan komplementer. Belum ada perlindungan hukum bagi pasien yang menjalani pengobatan komplementer, termasuk standarisasi tenaga medis yang diperbolehkan mempraktikkan pengobatan jenis ini. Mengingat lingkup praktik perawat yang mendapat sorotan melalui adanya malkpraktik pengobatan komplementer, banyak muncul anggapan di kalangan Dinas Kesehatan, bahwa perawat dilarang mengerjakan pengobatan akupuntur. Seperti beberapa kasus yang terjadi di salah satu puskesmas di wilayah Karangasem.
Namun dari segi hukum, perawat sebetulnya diberikan wewenang dalam mengadakan praktik sendiri. Seperti yang telah termuat dalam UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan pada pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan Praktik Keperawatan. Selanjutnya pada 30 ayat 2 bagian m menerangkan bahwa penatalaksanaan keperawatan komplementer merupakan bagian dari penyelenggaraan praktik keperawatan dengan memasukkan/ mengintegrasikan terapi komplementer dan alternatif ke dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan. Hal ini sudah jelas membuka lebar peran perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan komplementer tetapi masih belum mendapat tanggapan yang serius dan kesadaran dari pihak Pemerintah Dinas Kesehatan. 
 Masih merujuk pada UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan pada pasal 11 yang menjelaskan tentang stadarisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi keperawatan yang memenuhi standar nasional pendidikan tinggi, sedangkan pada pasal 12 menyebutkan bahwa penerimaan mahasiswa harus sesuai dengna kuota nasional demi menjamin mutu dari lulusan keperawatan itu nantinya. Sedangkan pada pasal  16 ayat 1 menyatakan bahwa mahasiswa keperawatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional. Sehingga nantinya akan mendapatkan Sertifikat kompetensi bagi mahasiswa pendidikan vokasi dan sertifikat profesi bagi mereka yang mengikuti pendidikan profesi keperawatan.
Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang standarisasi pendidikan yang harus dicapai bagi calon perawat ini, maka perawat harus lebih meningkatkan segi keilmuannya dalam keperawatan komplementer guna memajukan profesinya sehingga tidak hanya berpatokan pada metode pengobatan konvensional yang berupa medis saja, tetapi harus sudah memulai membuka diri dan memperbaharui pola pikir kita bahwa kesembuhan klien tidak mutlak hanya dengan berpedoman pada kehebatan layanan hospitaliti dan kecanggihan alat kesehatan dunia barat saja yang menggunakan obat-obatan kimia tetapi juga perlu melirik pada metode pengobatan ketimuran yang lebih bersifat holistik dan aman bagi masyarakat.
Seperti yang sempat disebutkan di bagian awal tadi, beberapa contoh metode terapi komplementer salah satunya yaitu moteode pengobatan akupuntur. Metode pengobatan yang biasa disebut dengan metode tusuk jarum dari Tiongkok ini  mulai masuk pelayanan rumah sakit sejak tahun enam puluhan, kemudian dicoba masuk kurikulum Fakultas Kedokteran.
Tetapi di masa sekarang ini, dengan adanya izin praktik mandiri bagi profesi perawat, diharapkan tidak hanya dokter saja yang berperan aktif dalam mengembangkan keilmuannya melalui pengobatan komplementer, melainkan para perawat maupun mahasiswa calon perawat di masa depan juga dapat ikut serta mengembangkan dan meningkatkan potensi diri serta mempelajari hal-hal baru dalam praktik keperawatan komplementer ini, misalnya pada praktik pengobatan akupuntur ini, jika perawat memiliki skill dan kompetensi dalam bidang tersebut, maka perawat dapat melakukan intervensi mandiri kepada pasien. Mengingat kembali bahwa perawat telah memiliki izin praktik mandiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka dari itu, perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer.
Perkembangan terapi komplementer atau alternatif sudah dikenal secara luas, termasuk didalamnya orang yang terlibat dalam memberi pengobatan karena banyaknya profesional kesehatan dan terapis selain dokter umum yang terlibat dalam terapi komplementer. Hal ini dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian-penelitian yang dapat memfasilitasi terapi komplementer agar menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak selamanya teknik pengobatan komplementer itu membahayakan pasien, asalkan dapat diparktikkan oleh profesional kesehatan dan orang-orang yang memiliki lisensi ijin praktik resmi yang dapat dipertanggung jawabkan maka teknik pengobatan komplementer atau alternatif akan menjadi suatu paradigma baru yang akan mengganti persepsi lama kita tentang pelayanan kesehatan yang layak di mata masyarakat. Selama adanya lisensi dan izin yang jelas, kasus-kasus malpraktik akan dapat kita hindari. 
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuai dengan peran-peran yang ada. Arah perkembangan kebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukung untuk meningkatkan peran perawat dalam terapi komplementer karena pada kenyataannya, beberapa terapi keperawatan yang berkembang diawali dari alternatif atau tradisional terapi.
Dalam Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, Nomor 1, Maret 2008, menyebutkan bahwa terapi komplementer sebagai isu praktik keperawatan abad ke 21.Sehingga diharapkan bagi pengembang kebijakan, praktik keperawatan, pendidikan, dan riset untuk lebih membuka jalur yang jelas bagi para perawat maupun calon perawat yang ingin mengembangkan potensi diri guna memajukan profesi perawat di masa mendatang. Apabila isu ini berkembang dan terlaksana terutama oleh perawat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang terapi komplementer, diharapkan akan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga kepuasan pasien secara otomatis akan meningkat.

 
 DAFTAR PUSTAKA

Widyatuti. 2008. Jurnal Keperawatan Indonesia. Jakarta: Staf Akademik Keperawatan Komunitas FIK UI
Saputra, Koosnadi. 2012. Akupunktur dalam Pelayanan Kesehatan Tingkat Rumah Sakit. Surabaya: RS Adi Husada Undaan Wetan
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Sekretariat Negara. Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sheila On 7 - Yang Terlewatkan

PENAMPILAN DIRI

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMERIKSAAN RUMPLE LEED (1)